Kamis, 24 Maret 2011

KAMI ADALAH MURABBI



“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang”. (QS. As Shaff: 14)
Seorang peserta tarbiyah menyesali diri, ”Saya ikut tarbiyah sudah bertahun-tahun akan tetapi saya tidak dapat berbuat banyak untuk menyebarluaskan dakwah dan tarbiyah seperti harapan murabbi saya. Kemampuan saya sangat terbatas. Saya belum berani untuk menyampaikan apa yang telah saya dapatkan di pengajian. Saya malu pada diri saya apalagi pada murabbi”.
Di tempat terpisah, “Binaan saya kok belum ada kemajuan yah, padahal saya telah membina mereka bertahun-tahun”, keluh seorang murabbi ketika mengikuti daurah murabbi. “Saya ingin mereka cepat berinteraksi dengan materi yang saya sampaikan dan menyebarluaskannya sehingga dakwah ini tumbuh dengan pesat”, sang murabbi menjelaskan harapan dirinya terhadap mutarabbi yang dia bina.
Di lain kesempatan salah seorang jamaah masjid mengutarakan keinginannya kepada seorang ustadz yang telah memaparkan panjang lebar tentang ajaran Islam di majelis pengajian yang baru diikutinya. “Ustadz, saya sangat tertarik dengan tema yang tadi disampaikan. Rasanya, materi yang ustadz jelaskan tadi sepertinya belum utuh dan selesai. Bagaimana bila materi itu dilanjutkan saja pada pertemuan yang akan datang”. “Kalau begitu saudara lebih baik mengaji secara rutin dan terarah di majelis pengajian yang saya kelola”, ajak sang ustadz. “Boleh, kami siap mengikutinya ustadz, bila diperkenankan”, jawab jama’ah tersebut. “Dengan senang hati, akan tetapi saudara mesti komitmen dan konsisten untuk mengikutinya”, jelas ustadz.
Pembicaraan di atas sering terlontarkan di berbagai kesempatan. Tampak sangat kontras bila disandingkan. Tidak sedikit orang yang tertarik untuk mengikuti kajian Islam secara rutin dan terarah (halaqah). Mereka berharap mendapatkan pembinaan diri secara intensif agar dapat memahami dan menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Itulah berkah dakwah yang Allah SWT. amanahkan kepada kader ini.
Saat ini banyak kita jumpai berkah dakwah yang diberikan Allah SWT. yang diantaranya berupa ketertarikan sejumlah orang pada dakwah yang mereka dengar dari mulut para kader. Akan tetapi orang yang mampu membina mereka dapat dikatakan belum memadai. Bahkan seperti ungkapan diatas masih ditemukan kader dakwah yang telah lama mendapatkan pembinaan namun belum percaya diri (berani) untuk membina kader baru dengan berbagai macam alasan.
Sebagaimana kita pahami bahwa, tarbiyah atau pembinaan diri menjadi bagian yang urgen dalam dakwah. Melalui tarbiyah, seorang kader dibina untuk memahami ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh. Selanjutnya, diarahkan agar mampu berinteraksi dengan muatan materi yang telah diterima. Dengan begitu nilai-nilai Islam tidak hanya sebatas dipahami melainkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian ditempa untuk ikut terlibat aktif dalam menyebarluaskan dakwah Islam kepada khalayak sehingga dakwah tumbuh dan berkembang.
Amal dakwah dipandang produktif bila melahirkan kader-kader yang menjadi estafeter dakwah. Munculnya pelanjut dakwah untuk ikut terlibat aktif dalam mengemban amanah dakwah ini menjadi salah satu kunci kesuksesan penyebarluasannya. Peran pelanjut dakwah, mengemban amanah ini memang tidak hanya sebatas penyebarluasan saja melainkan juga meningkatkan mutu interaksi obyek dakwah terhadap ajaran Islam. Peran sebagai da’i serta murabbi.
Peran ini dipahami benar oleh para pendahulu dakwah di masa lalu. Mereka mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap eksistensi dakwah. Ada rasa penyesalan yang dalam bila mereka tidak dapat menunaikannya dengan baik. Pantaslah apabila perjalanan dakwah pada masa Rasulullah SAW. dan para sahabatnya mengalami perkembangan yang maju, baik dari aspek penyebarannya maupun peningkatan mutu kualitasnya.
Hal ini terbukti dari dialog antara Rasulullah SAW. dengan Hudzaifah Ibnu Yaman RA. Dia menginformasikan beliau data-data yang terukur tentang siapa yang telah masuk Islam, keluarga mana saja dan dari kabilah mana?. Dari informasi tersebut dapat dipahami bahwa amal dakwah mengalami perkembangan yang pesat waktu itu.
Tulang punggung keberhasilan dakwah mencapai sasaran tersebut terletak pada peran murabbi. Untuk memberikan arahan dan pembinaan yang kontinue sehingga melahirkan kader dakwah baru yang ikut terlibat aktif dalam amal dakwah.
Besarnya peran murabbi dan tanggung jawabnya pada dakwah sering kali menjadi momok bagi para kader. Kondisi ini yang menyebabkan mereka gamang untuk membina orang lain. Apalagi bila dilihat kemampuan dan kondisi dirinya yang belum memadai.
Sebenarnya asumsi semacam ini kurang tepat, sebab banyak kemampuan para murabbi diawal kontribusinya dalam dakwah sama seperti yang dimiliki kebanyakan kader. Namun mereka memiliki dorongan yang kuat untuk terjun dalam dakwah ini. Apalagi mengingat doktrin dakwah yang berbunyi: Inna al akhs ash shadiq laa budda an yakuna murabbiyan (seorang al akh sejati tidak boleh tidak menjadi murabbi).
Untuk mengubur momok yang menjadi penghambat produktifitas dakwah mesti memperhatikan bekalan-bekalannya. Bekalan itu bukanlah setumpuk catatan materi melainkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dawafi’ al imany (Motivasi imaniyah)
Mengukur untung ruginya melakukan suatu aktifitas merupakan opini umum banyak orang. Semakin besar keuntungan yang bakal diperoleh semakin besar pula dorongan untuk melakukannya. Sebaliknya bila keuntungannya kecil atau kerugian yang bakal dia dapatkan, maka dia akan berpikir beberapa kali untuk melaksanakannya.
Penyebarluasan dakwah, dalam hal ini menjadi murabbi termasuk salah satu dari aktifitas ubudiyah. Segala kegiatan yang bersifat ubudiyah keuntungan materinya sering kali tidak kontan. Bahkan gambaran kerugian acap kali mengiringi amal tersebut. Rugi waktu, kesempatan, harta dan lain-lainnya, begitu yang ada dalam benak pikiran orang. Hal ini tidak jarang menyebabkan orang sungkan untuk melibatkan dirinya secara utuh. Hanya orang yang mempunyai keimanan kuat yang mampu menunaikannya. Sebab itu Imam Nawawi Rahimahullah menempatkan hadits keikhlasan sebagai hadits pertama dalam kitabnya lantaran fungsi motivasi keimanan ini menjadi pendorong besar.
Kekuatan iman menjadi daya dorong yang besar dalam melakukan berbagai aktifitas ubudiyah. Oleh karena itu menjadi kewajiban para kader dakwah untuk menambah bekal keimanan. Agar dengannya amal dakwah yang besar dapat ditunaikan dengan keringanan hati. Sehingga Allah SWT. akan memudahkan dirinya dalam mentarbiyah orang lain. Bahkan memberinya pengetahuan untuk menopang amal tarbiyah yang ia lakukan.
“Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkanmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah: 282)
2. At Tafaul (Optimisme)
Optimisme sebagian dari kesuksesan, bahkan kemenangan. Dengan optimisme, manusia dapat membangun harapan besarnya. Ia menjadi penyejuk hati ketika mendapatkan rintangan. Dalam dakwah optimis ini dapat merajut bangunan harapan dan dambaan, karenanya ia tidak boleh menipis apalagi habis. Lihatlah Rasulullah SAW. dalam menyampaikan dakwahnya. Beliau sangat optimis meski harus berhadapan dengan cobaan dan rintangan.
Tatkala Rasulullah SAW. pergi ke Thaif, beliau mendapatkan intimidasi dan cemoohan masyarakat di sana. Perlakuan mereka kepada Nabi Utusan Allah sudah membuat geram Malaikat penjaga gunung Thaif. Akan tetapi beliau masih memiliki harapan besar pada mereka. Sebagaimana ucapan beliau ketika itu, “Bila saat ini mereka tidak menerima seruanku, aku berharap dari keturunan mereka menyambut dakwahku”. Nyatanya, sepuluh tahun sesudah kejadian itu berbondong-bondonglah mereka menjumpai Rasulullah SAW. untuk menjadi pengikutnya.
Begitulah Rasulullah SAW. mengajarkan kepada kita untuk selalu optimis dalam menyebarluaskan dakwah, meski menghadapi tantangan. Juga dalam mentarbiyah. Membina manusia ke jalan Allah SWT. banyak rintangan dan cobaan, karenanya persediaan optimis harus dalam keadaan surplus.
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf: 87)
3. At Tsiqah bil qudratidz Dzatiyah (Percaya terhadap kemampuan diri)
Kemampuan yang belum memadai tidak boleh menjadi kendala besar untuk menjadi murabbi. Kemampuan akan memadai bila sering terasah. Mengasah kemampuan menyebarluaskan dakwah melalui keberanian untuk menyampaikan apa saja yang telah dia dapatkan. Meskipun tema-tema sederhana. Seringnya menyampaikan dakwah akan mempertajam kemampuannya sebagai murabbi.
Apabila kita melihat perjalanan dakwah para sahabat, mereka tidak memenuhi kadar kemampuannya terlebih dahulu. Melainkan dengan rasa tanggungjawabnya mereka menyebarluaskan dakwah. Jiwa mas’uliyah mereka memberikan kemampuan besar untuk membina manusia yang selanjutnya terlibat aktif dalam amal dakwah. Walaupun mereka jauh dari komunitas kaum muslimin lantaran mereka menjadi duta Rasulullah ke berbagai wilayah. Diantaranya sahabat Mu’adz bin Jabal RA. yang dikirim ke Yaman.
Ketika Muadz bin Jabal akan dikirim ke Yaman. Dia mengharapkan Rasulullah SAW. memberikan banyak bekalan, semacam tentir materi dakwah. Ternyata beliau hanya memberikan 3 bekalan. Pertama, meningkatkan komitmen moral. Kedua, pembersihan diri. Ketiga, interaksi sosial. Sebagaimana sabdanya pada Mu’adz: “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya akan menghapusnya dan berbuat baiklah pada manusia” (HR. Bukhari dan Muslim). Lalu apakah bekalan itu kurang buat dirinya?. Jawabnya tidak, buktinya dakwah yang ia lakukan berkembang di sana.
Permasalahannya disini adalah kepercayaan pada kemampuan diri. Bahwasanya setiap manusia akan tajam kemampuannya bila sering dipergunakan, termasuk juga kemampuan menjadi murabbi. Oleh sebab itu kader-kader dakwah harus memperbaiki sekaligus meningkatkan kepercayaan dirinya terhadap kemampuannya sebagai murabbi.
4. Al Ibrah wa ta’birul akhorin (Mengambil Pelajaran dan Pengalaman orang lain)
Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Ungkapan ini berlaku untuk semua permasalahan tak terkecuali dalam mentarbiyah manusia. Pengalaman yang baik menjadi contoh sedangkan pengalaman buruk menjadi pelajaran berharga.
Untuk mendapatkan pengalaman banyak jalan yang bisa dilakukan. Diantaranya terjun langsung ke lapangan. Di sana berbagai pernak pernik tarbiyah akan mudah kita temukan. Dapat juga ikut magang di halaqah orang lain untuk melihat dinamika tarbiyahnya dan mencari solusinya. Serta diskusi dengan orang lain tentang pengalamannya dalam mentarbiyah orang. Sehingga menjadi souvernir dakwah yang tak ternilai harganya. Perbanyaklah mengambil pelajaran dan pengalaman dari orang lain, begitu kata orang bijak.
5. Do’a
Kedudukan do’a bagi seorang mukmin sangat berarti. Ia menjadi senjata baginya. Melalui do’a, ia menjadi penawar hati yang kelu, penyejuk jiwa yang panas. Dalam mentarbiyah, peranan do’a tidak boleh diabaikan. Baik sebelum maupun sesudah menunaikannya. Ia akan menjadi penghantar hidayah Allah SWT. Nabi Musa AS. telah mencontohkannya pada kita sekalian. Tatkala akan mendakwahkan Fir’aun, beliau memunajatkan do’a pada Allah SWT.:
“Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”. (QS. Thaahaa: 25 – 28)
Sebab itu, sebelum maupun sesudah menyampaikan muatan tarbiyah janganlah lupa berdo’a. Dengan berdo’a semoga Allah SWT. memudahkannya untuk menyebarluaskan dakwah yang akan menghantarkan hidayah-Nya pada orang lain. Amin.
Kesuksesan Murabbi Dalam Tarbiyah
Meraih kesuksesan dalam tarbiyah bukanlah hal yang mudah. Banyak kendala yang akan menghadangnya setiap saat. Akan tetapi seorang murabbi tidak boleh berkecil hati menghadapinya.
Tarbiyah dapat dinilai sukses bila melahirkan kader-kader baru yang ikut serta dalam barisan dakwah. Ini menjadi penyebab yang menyenangkan murabbi juga penyebab kebencian musuh-musuh dakwah.
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al Fath: 29)
Untuk mencapai kesuksesan dalam mentarbiyah pendahulu dakwah ini memberikan catatannya tentang pilar-pilar kesuksesan tarbiyah, yakni:
1. Quwwatul Irodah (Kemauan yang kuat)
Murabbi mesti memperkuat kemauannya dalam mentarbiyah. Kemauan yang kuat akan menjadi kendaraan handal dalam mengelola tarbiyah. Ia tidak lekang karena panas, tidak pula lapuk karena hujan. Ia juga menjadi motivasi bagi mutarabbinya.
Seorang mutarabbi pernah memaparkan kekagumannya pada murabbinya. Lantaran sang murabbi senantiasa hadir bersamanya meski harus berjalan kaki, dalam keadaan hujan, sakit apalagi hal-hal yang ringan. Kalaupun terpaksa tidak dapat hadir, ia sempatkan untuk berbicara dengan mutarabbinya melalui telepon saat waktu pertemuannya ataupun sesudahnya. “Subhanallah, ustadz saya selalu hadir dalam pertemuan, saya malu kalau tidak hadir. Apalagi hanya karena masalah kecil”. Tampaknya kemauan yang kuat menjadi traktor yang ikut mempengaruhi unsur lainnya.
Kemauan kuat tidak juga terbatas pada kemauan untuk hadir semata, tetapi juga kemauan keras untuk menjaga dan memelihara mutarabbinya agar mereka tidak tergelincir dalam perjalanannya.
2. Al Qudwah (Keteladanan)
Aktifitas spiritual merupakan aktifitas yang mengkedepankan keteladanan. Keteladanan menjadi cermin jernih pada amal spiritual. Murabbi menempati posisi penting dalam keteladanan amaliyah ini. Sebagai mercusuar untuk membimbing ke arah mana jalan yang harus dilalui. Sehingga bahtera itu mendapatkan rute perjalananannya menuju taman harapan. Teladan dalam ruhiyah, fikriyah, ijtima’iyah, tadhiyah, amaliyah dan yang lainnya.
Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”. (HR. Tirmidzi).
Selayaknya seorang murabbi terdepan dalam mengimplementasi nilai-nilai yang telah ia sampaikan. Sehingga ia menjadi mesin penarik jiwa-jiwa manusia.
3. Isti’dadu baramiji al muwajjahah (Mempersiapkan agenda pertemuan)
Imam Hasan Al Banna membuat catatan kecil pada secarik kertas. Murid-muridnya bertanya: “Untuk apa catatan itu wahai imam?”. “Saya sedang mempersiapkan materi pertemuan nanti”, jawab sang Imam.
Seorang murabbi untuk meraih keberhasilan tarbiyahnya perlu mempersiapkan agenda liqa’ tarbawiyahnya. Diawali dengan mempersiapkan diri untuk pertemuan tersebut. Baik aspek psykologis, fisikis, intelektual maupun material. Terlebih lagi agenda pertemuan tersebut agar liqa’ tarbawiyahnya menjadi pertemuan yang bermakna. Bukan pada lamanya waktu pertemuan melainkan pada isi pertemuan tersebut.
4. Matanah as syakhshiyah (Soliditas personal)
Soliditas personal baik vertikal ataupun horisontal menjadi faktor yang ikut mempengaruhi dinamika kelompok. Demikian pula komunitas dan soliditas tarbiyah. Soliditas vertikal dalam artian menjaga hubungan yang baik antara murabbi dengan mutarabbi atau sebaliknya. Sedangkan soliditas horisontal adalah menjaga hubungan antara sesama mutarabbi.
Terkadang masalah kecil dan sepele dapat merusak soliditas kelompok. Akhirnya hancurlah dinamika kelompoknya yang berlanjut dengan bubarnya kelompok tersebut.
Apabila kita cermati persoalannya terletak pada kemampuan masing-masing personal memelihara kesehatan hatinya. Itu menjadi inti permasalahannya. Apabila setiap personal tidak berupaya menjaga kualitas hatinya dapat memporakporandakan kekokohan barisan manusia yang telah dibangun.
Murabbi dalam hal ini memegang peranan penting. Bila ada gesekan antara dirinya dengan mutarabbi hendaknya mampu berlaku arif dan bijak mencairkan hubungan yang kaku sebagai akibat dari gesekan tersebut. Jika yang terjadi pada sesama mutarabbi dapat menjembatani antara mereka dengan sikapnya menjadi penengah tidak berpihak pada satu sisi. Dengan prilaku murabbi yang seperti itu soliditas kelompok akan terpelihara dunia dan akhirat.
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (QS. Az Zukhruf: 67)
5. Taujih wa muraqabah al murabbi (Arahan dan kontroling murabbi)
Diantara baramij tarbiyah yang ditunggu-tunggu mutarabbi adalah cucuran taujih murabbi yang akan mengarahkan mereka. Taujih tersebut menjadi curahan kesejukan hati. Terlebih lagi muatan yang disampaikan aktual dan tepat. Kehadiran mereka dalam pertemuan tersebut memang berharap untuk mendapatkan arahan murabbi.
Interaksi mutarabbi dengan kehidupannya menimbulkan karat dan noda yang perlu dibersihkan. Pertemuan tarbiyah, mereka jadikan sebagai sarana untuk menetralisir sekaligus meningkatkan imunitas dirinya. Mereka sangat senang mendapatkan arahan tersebut.
Seorang mutarabbi mengutarakan keinginannya untuk pindah halaqah. Itu dikarenakan pertemuan tarbiyah mereka rasakan hambar tanpa makna. “Murabbi saya super sibuk, jarang hadir. Kalaupun hadir hanya sekedar tatap muka saja. Padahal kami berharap mendapatkan sepatah atau dua patah kata sebagai penyejuk hati kami”. Keluhnya.
Ungkapan tersebut sebenarnya bukanlah gugatan. Akan tetapi lebih kepada harapan dan keinganan mereka mendapatkan nasehat penyejuk iman dari murabbi. Para sahabat, bila hadir dalam majlis Rasulullah SAW. mereka mendapatkan solusi dari problematika yang mereka miliki. Baik problem internal, rumah tangga masyarakat atau persoalan lainnya. Taujih Rasulullah SAW. menjadi jawabannya.
Disamping taujih, kontroling murabbi juga tidak kalah penting untuk mengokohkan pembinaan mutarabbi. Mengontrol kualitas ruhiyah, fikriyah, aktifitas ‘ailiyah maupun aktifitas sosial.
6. Manhajiyah at tarbawiyah as shahihah wa al murakkazah (Metodelogi tarbiyah yang shahih dan tepat)
Keberhasilan tarbiyah ditentukan pula oleh metodelogi yang benar dan tepat. Ketepatan waktu penyampaian, tema yang disampaikan, cara penyampaian ataupun metode pendekatannya. Rasulullah SAW. sangat memperhatikan masalah ini agar apa yang beliau sampaikan mengena pada sasaran.
Rafi’ ibnu Al Mu’alla RA. memaparkan pengalamannya bersama Rasulullah SAW. ketika menerima ajaran Rasulullah SAW. Beliau mengajarkannya pada waktu dimana hati manusia siap untuk mendengarkannya, yakni sesudah melaksanakan ibadah. Juga di tempat yang diberkahi Allah SWT. yaitu di mesjid atau majlis-majlis ilmu. Pendekatan yang digunakan dengan pendekatan personal yang memikat memupus jurang pemisah antara murabbi dan mutarabbi. Rafi’ berkomentar saat didekati Rasulullah SAW. dengan mengatakan “Rasanya sayalah orang yang paling dekat dengannya”. Cara penyampaian beliau membuat terpukau pendengarnya melalui pemaparan yang booming. Seperti saat akan menyampaikan surat Al Fatihah beliau mengatakan, “Maukah engkau aku ajarkan satu surat yang paling besar dalam Al Qur’an sepulang dari mesjid?”.
Selayaknya murabbi pandai memilih dan menggunakan metode yang tepat dalam menyampaikan muatan tarbiyahnya. Agar muatan yang disampaikan mengenai sasaran selanjutnya tertanam di hati mutarabbi.
7. In’asy at tarbawiyah (Penyegaran aktifitas tarbiyah)
Untuk meningkatkan kualitas tarbiyah, penyegaran aktifitas tarbiyah bisa dilakukan, misalnya dengan acara mabit bersama, saroya, rihlah, olah raga jama’iyah, daurah tarqiyyah atau kegiatan lainnya. Penyegaran ini dalam upaya mendinamiskan suasana tarbiyah dari kejenuhan. Diharapkan acara tersebut dapat menjadi energi baru bagi mutarabbi. Murabbi dalam menyelenggarakan in’asy tarbawiyah ini dapat melihat kebutuhan mutarabbi agar kegiatan itu tepat sasaran.
Rasulullah SAW. bersabda: “Rehatkanlah hatimu karena ia tidak terbuat dari besi” (HR. An Nasa’i).
8. Do’a (saling mendo'akan)
Seperti kita ketahui bahwa do’a mempunyai daya dukung yang berarti dalam amal dakwah. Demikian pula keberhasilan tarbiyah. Murabbi tidak boleh mahal untuk mendo’akan mutarabbinya agar dikokohkan hatinya dalam menerima Islam serta dimudahkan merealisasikannya. Juga hendaknya murabbi menganjurkan kepada mutarabbinya untuk senantiasa saling mendo’akan supaya diberikan kekuatan untuk menjalankan ajaran Islam.
Begitulah catatan pendahulu kita sebagai panduan untuk mencapai kesuksesan mengelola tarbiyah. Untuk mencapainya, tarbiyah sebagai sarana pembinaan diri sudah barang tentu mesti dilakukan secara kontinue. Rutin, marhaliyah dan sistemik. Hal ini tentu jangan menjadi faktor yang mempersulit seorang kader untuk menjadi murabbi. Melainkan sebagai arahan untuk kita pegang agar meraih kesuksesan tersebut. Oleh karena itu marilah kita berikrar ‘Kami adalah Murabbi’. Why not?. Kenapa tidak?. (Terima kasih Ustadz DH. Al Yusni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar