Jumat, 11 Maret 2011

Bila Da’i Mencari Maisyah



“Afwan akhi, ini masalah klasik.” Adalah ungkapan yang menarik di kalangan aktifis dakwah, apabila ditanya atas ketidakhadirannya dalam sebuah aktifitas dakwah. Saya kira saya tidak perlu menerangkan apa maksud dari masalah klasik, karena masing-masing kita telah pahami masksudnya. Ini adalah sebagian ungkapan aktifis dakwah yang menunjukkan bahwa sedang mengalami persoalan minim anggaran, sehingga ia tidak hadir dalam aktifitas tersebut.
Minimnya anggaran pada diri seseorang, adalah dampak kurangnya pendapatan yang bersangkutan. Atau kurangnya biaya pada sebuah komunitas, kelompok dan organisasi adalah dampak satu dari dua hal, yaitu, kurangnya pendapatan masing-masing individu yang bergabung dalam komunitas tersebut; atau minimnya akses dan publikasi mereka, tentang kelompok dan kegiatannya kepada sumber-sumber dana, yang mungkin mau memberi andil finansial dalam kegiatan tersebut.
Yang menjadi bahasan utama kita adalah dampak pertama, bukan yang kedua. Karena, pertama, membiayai seluruh kebutuhan dan kegiatan dakwah secara mandiri adalah lebih utama, dan lebih menjaga izzah (kredibilitas) seorang da’i, daripada mengharap pemberian orang lain; kedua, dakwah adalah pekerjaan mempengaruhi, sementara dalam ‘kacamata’ masyarakat, orang kaya lebih mudah berpengaruh jika dibandingkan dengan orang miskin, maka seorang da’i pun harus menjadi kaya; dan ketiga, batuan muhsinin (orang-orang baik) akan datang dengan sendirinya bila sang da’i telah bergerak dan menjalankan program-program dakwahnya. Begitu Rasulullah saw sabdakan: “Bergeraklah! Pasti Allah menggerakkah hati para muhsinin (untuk membantu).” Tapi sang da’i tidak bisa bergerak bila tidak punya modal, maka untuk itulah kita bekerja, mencari anggaran sendiri dari hasil usaha yang kita lakukan sendiri.


1. Urgensi Bekerja Mencari Nafkah Dalam Islam
Banyak sekali ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang menjelaskan pentingnya mencari nafkah, diantaranya:
“Jika shalat telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di permukaan bumi, dan carlah sebagian dari karunia Allah.” Qs. Al Jumu’ah: 10.
“…Dan mereka yang berjalan di atas permukaan bumi mencari sebagian dari karunia Allah, serta mereka yang berperang di jalan Allah. Bacalah apa yang mudah bagi kalian dari Al Qur’an…dst.” Qs. Al Muzzammil: 20.
“Seorang mencari kayu bakar, kemudian memikulnya dan menjualnya, adalah lebih baik dari seorang yang mengemis, yang mungkin ia diberi atau ditolak.” Hadits riwayat Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah.
“Adalah Nabi Daud ‘alaihissalam tidak makan kecuali hasil kerja tangannya.” Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah.
“Adalah Nabi Zakariya ‘alaihissalam seorang tukang kayu.” Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah.
Dari beberapa ayat dan hadits diatas, dapat kita katakan betapa pentingnya mencari nafkah, bahwa pertama, mencari nafkah itu kedudukannya sama dengan shalat. Dia Allah ‘mengikat’ pekerjaan shalat yang ibadah mahdhah, dengan pekerjaan mencari karunia yang ibadah ghairu mahdhah dengan haruf (fa) yang berarti segera, sehingga tidak boleh ada jedah waktu yang memisahkan antara keduanya.
Kedua, mencari nafkah itu perintah Allah SWT yang wajib hukumnya. Dialah Allah yang menggunakan kata perintah pada ayat itu (fantasyiruu) dan (wabtaghuu), dan kata perintah adalah wajib hukumnya selama tidak ada dalil yang lain yang membantah kewajibannya, sehingga hukumnya berubah menjadi sunnah atau mubah. Bahkan Rasulullah saw menguatkan dengan sabdanya: “Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah.” Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi.
Ketiga, mencari nafkah kedudukannya sama dengan jihad berperang di jalan Allah. Dialah Allah pada ayat berikutnya memerintahkan membaca Al Qur’an yang mudah bagi mereka yang berjalan mencari karunia Allah, dan bagi mereka yang beperang di jalan-Nya. Orang yang berperang di jalan Allah adalah orang bertugas menjaga keamanan kaum muslimin dari serangan musih, sementara orang yang berjalan mencari karunia Allah adalah orang yang bertugas mensejahterakan kaum muslimin dari segala bentuk kemiskinan. Keamanan dan kesejahteraan, adalah kebutuhan dasar yang saling tergantung bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, untuk terselenggaranya pembangunan peradaban umat manusia, yang sesuai kehendak Allah SWT. Dalam praktiknya, Utsman bin ‘Affan ra yang pedagang itu, pernah menginfakkan semua barang dagangannya, yang baru saja tiba dari negeri Syam, yang pada saat itu Rasulullah saw sedang mempersiapkan pasukannya menuju Tabuk, sebaliknya, walaupun Utsman bin ‘Affan selalu hadir dalam peperangan, tapi ia tidak pernah tampil sebagai panglima. Demikian pula Khalid bin Walid ra, seorang panglima perang, yang bergelar saifullah al maslul (pedang Allah yang terhunus) sealalu menjadi pemenang, pada setia peperangan yang dipimpinnya, tidak pernah dicatat oleh sejarah sebagai pedagang ulung, walaupun ia juga berdagang, karena perdagangan adalah profesi utama orang-orang Quraisy.
Keempat, mencari nafkah itu terhormat dan pekerjaan para Nabi Allah. Ia membangun izzah karena tidak mengemis, dan besar kemungkinan ia dapat memberi dan membantu orang lain, walaupun ia seorang tukang kayu bakar, atau pandai besi seperti Nabi Daud, atau tukang kayu seperti Nabi Zakariya, maka benarlah sabda Nabi Muhammad saw: “Hai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu memberi dari kelebihan hartamu adalah baik bagimu, dan buruk bagimu jika kamu menahannya, engkau tidak akan dicela selam kamu tidak meminta-minta, mulailah bersedeka kepada keluargamu, dan tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah.” Hadits riwayat Muslim dari Abu Umamah bin ‘Ijlan ra.
Kelima, jangan ‘pilih-pilih’ pekerjaan dalam mencari nafkah! Semua pekerjaan adalah baik, selama pekerjaan itu halal. Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad saw, tidak pernah merasa terhina menjadi gembala kambing, demikian pula Nabi Daud dan Nabi Zakariya yang telah disebut di atas. Berdagang sayur di pasar, menarik motor ojek, menjadi pedagang dorongan, menjadi cleaning cervis, dan segala macam pekerjaan, yang di mata masyarakat – mungkin – hina, adalah jauh lebih baik daripada menganggur hidup di bawah tanggungan orang lain, dan atau menjadi pengemis.

2. Kendala Da’i Dalam Mencari Nafkah
Sang da’i menghadapi beberapa kendala dalam mencari nafkah, yaitu sebagian ada pada paradigma, kemudian skill, performen dan kesempatan. Adapun yang ada pada paradigma adalah; pertama, ketika sang da’i dan masyarakat memahami dakwah dengan pemahaman yang sempit, ibarat “cinta tak selebar daun kelor,” maka “dakwah pun tak sebesar minbar.” Mereka menpersepsikan dakwah itu hanya di minbar, dakwah itu tidak lebih dari ceramah, dakwah itu sebatas nasehat dst. Pemahaman seperti ini mengantar kita kepada yang kedua, ketika sang da’i dan masyarakat memahami dakwah adalah pekerjaan orang-orang tertentu saja, bukan tugas bersama oleh seluruh kaum muslimin, ia hanya tugas guru agama, imam, khatib, ustadz dan ulama’. Sehingga lahir yang ketiga, ketika sang da’i dan masyarakat memahami bahwa yang bekerja di bidang dakwah adalah orang-orang suci, mereka titisan malaikat, tidak memerlukan dunia, semua perbuatan dan ucapannya benar, yang kebenarannya sama dengan wahyu dls.
Akibat ketiga paradigma di atas merusak ‘keseimbangan’ kehidupan, khususnya umat Islam dan umat manusia umumnya. Yang pertama membatasi ‘volume’ dakwah. padahal sejauh mana besar volume Islam, seperti itu pula besar volume dakwah. Islam mencakup seluruh dimensi ruang, masa dan aktifitas manusia, maka dakwah pun demikian yang termasuk di dalamnya bekerja mencari nafkah. Sedang yang kedua membatasi kepemilikan agama pada orang tertentu saja yang boleh berdakwah, dan yang paling fatal, bila sampai pada tingkat pengkultusan. Padahal dakwah Islam amanah setiap muslim, apapun suku, bahasa, bangsa, warna kulit, dan profesinya dalam mencri nafkah. Dan yang ketiga membatasi wilayah kerja sang da’i pada pekerjaan tertentu, seperti ceramah, khutbah, mengajar dan semacamnya, da’i tidak cocok jadi pejabat, politisi, bisnismen, tentara dls, yang pada gilirannya membuat para da’i berada di atas menara gading. Padahal sejarah telah membuktikan bagaimana Rasulullah saw sang da’i pertama menggembala kambing, berdagang di pasar, memimpin peperangan, memimpin diplomasi, khutbah di masjid dan mengajar umat dan semacamnya. Hal apa yang dilakoni oleh Tauladan umat ini, tidak hanya terbatas pada dirinya, tapi diikuti oleh semua sahabatnya dan umat Islam pada generasi-generasi berikutnya.
Seyogyanya, demikianlah kita memahami dan bertindak, sehingga kita tidak akan pernah merasa sempit dalam mengamalkan Islam, medan dakwah di hadapan kita sangat luas, dan lapangan profesi yang bisa menghasilkan nafkah buat kita sangat banyak. Tinggal bagaimana kita mensikapi ‘keluasan’ ini, dengan meningkatkan setiap skill (keahlian) yang diperlukan, sekaligus memperhatikan performen (perwajahan) kita pada setiap profesi.
Hal yang mungkin menjadi kendala berikutnya, adalah kesempatan kerja. Saya mengatakan, Setelah paradigma kita perbaiki, skill dan performen, kesempatan itu datang dengan sendirinya, karena kita bisa menciptakannya sendiri dengan kecerdasan kita. “Barang siapa bertakwa kepada Allah, pasti Allah memberinya jalan keluar, dan memberinya rezki yang tidak disangka-sangka dari mana sumbernya.” Qs. At Thalaq: 2-3. “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah memudahkan segala urusannya.” Qs. At Thalaq: 4.


3. Peluang Maisyah dan Kecerdasan
Memang, dalam mencari nafkah tidak cukup hanya dengan perubahan paradigma, perbaikan skill dan performen serta mempunyai kesempatan. Tapi juga membutuhkan kecerdasan dalam membaca setiap peluang yang datang setiap saat.
Rasulullah saw pada masa awal hijrah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, diantara yang dipersaudarakan adalah Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Singkat cerita, Sa’ad menawarkan sebagian hartanya kepada Abdurrahman, dan salah satu dari dua isterinya. Abdurrahman berkata: “Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?” Ia pun ditunjukkan pasar Bani Qainuqa’. Tak seberapa lama kemudian dia sudah mendapatkan sejumlah samin dan keju. Suatu hari Abdurrahman datang dengan wajah agak pucat. Rasulullah bertanya, “bagaimana keadaanmu?” “Aku sudah menikah,” jawabnya. Kemudian Rasulullah menyakan maskawin yang diberikan kepada isterinya. Ia menjawab, “beberapa keping emas.”
Rahasia apa pada diri Abdurrahman, setelah ditunjukkan pasar, ia telah memiliki samin dan keju dalam waktu tidak lama, dan tidak berselang beberapa hari ia sudah menikah? Sudah pasti bahwa salah satunya adalah kecerdasnnya dalam membaca peluang.
Sejarah bangsa kita pun telah membuktikan bahwa anak-anak bangsa ini adalah putera-putera cerdas melihat peluang dalam mencari nafkah. Lihatlah kepada orang-orang Padang yang menguasai hampir seluruh pasar-pasar di Indonesia bagian barat, disamping itu, mereka mampu me-nasional-kan masakan padang lewat restoran-restoran mereka, yang hampir tidak ada kota di Indonesia kecuali ada restoran padang. Lihatlah kepada orang-orang Jawa yang memiliki keterampilan tangan, yang sangat piawai dalam bercocok tanam, andil mereka sangat besar dalam mengajarkan suku-suku lain dalam bertani. Disamping itu mereka juga mampu merobah barang-barang bekas menjadi ‘karya tangan’ yang bernilai uang. Lihatlah kepada orang-orang Tasik yang menyebar ke hampir setiap pulau di Indonesia untuk berjualan dengan sistem kredit. Lihatlah kepada orang-orang Bugis Makassar yang bertebaran di hampir setiap pantai di Indonesia, menjadi nelayan dan petani tambak. Disamping itu mereka juga menguasai di hampir setiap pasar di Indonesia bagian timur, bahkan merekalah yang membuat lokasi itu menjadi pasar. Dan masih banyak lagi.
Nah, bagaimana dengan kita para da’i? Adakah kita cerdas melihat peluang nafkah yang bertebaran di hadapan kita?


4. Menemukan Peluang Maisyah Dari Pribadi Sang Da’i
Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang telah menyediakan peluang mencari nafkah di alam semesta ini. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar dilautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala yang kamu mohonkan kepadanya, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu meng-hingga-kannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). Qs. Ibrahim: 32-34.
Peluang ini pun terbentang luas di bumi Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Terdapat hasil bumi, baik berupa buah-bauahan, hewan ternak dan hasil tambang; terdapat pula hasil laut, baik tumbuhan laut, ikan dan segala jenisnya; dan terdapat pula sumberdaya manusia yang memerlukan pelatihan dan bimbingan serta pelayanan dalam memenuhi berbagai kebutuhan mereka.
Semua peluang tersebut dapat kita raih menjadi sumber maisyah, bila kita mampu mengeksplorasi segala potensi diri yang kita miliki, kemudian mempertemukannya dalam sebuah usaha maisyah. Dalam diri kita terlalu banyak potensi, kita tidak menemukannya sekaligus, tapi kita menemukannya setiap kita mencoba untuk menggalinya. Sehingga da’i yang tadinya hanya bisa ceramah, kalau dia mencoba untuk berdagang maka secara perlahan ia pasti akan mampu; dan jika dia mencoba untuk bertani, atau beternak, atau pandai besi, atau panadi emas dan seterusnya, pasti secara perlahan mampu melakukan semua itu.
Tapi agar kita sukses dalam maisyah, perlu menentukan fokus pada satu potensi untuk dijadikan sebagai profesi, dan ulung dalam bidang tersebut. Tidak masalah kita memiliki banyak potensi, bahkan kita harus senantiasa menggalinya, namun kita melakukan hal itu secara terencana.
Ada pelajaran yang baik dari orang-orang cina dalam meniti karirnya sebagai pedagang, yaitu mereka, sebelum menjadi pedagang kelas atas, terlebih dahulu telah berhasil menjadi pedagang kelas menengah; demikian pula mereka tidak akan melangkah menjadi pedagang menengah sebelum berhasil menjadi pedagang kecil. Seringkali kita ingin langsung menjadi besar, karena melihat orang-orang sukses, tanpa pernah mau mempelajari proses mereka meraih kesuksesan. Disinilah sumber masalahnya.
Pada akhirnya, saya mengharap dari tulisan ini, kita memiliki wawasan bahwa kapan dan di mana pun kita dapat mencari nafkah, dan diberi kesempatan oleh Allah mengatur antara kegiatan dakwah dan maisyah, tanpa harus ada yang terabaikan, yang pada gilirannya maisyah atau nafkah yang kita peroleh dapat membiayai program-program dakwah kita, sehingga kita tidak akan pernah lagi mengatakan, “Afwan akhi, ini masalah kelasik.” Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar