Kamis, 07 Januari 2010

Surat Untuk Istriku

Memory : 19 Dzuhijjah 1429;00.30;Mojokerto

Buat Yang terkasih

Istriku Ibu anak-anakku

Harinya Hari Jum’at.

Saat aku terjaga. Alunan nafas dua malaikat kecilku dan seorang bidadariku begitu teratur menyempurnakan irama malam yang dimuliakan. Pandanganku tertuju pada sebuah kalender yang menempel di dinding yang masih tampak batu batanya. Sebuah kalender yang mulai agak usang karena akan segera tutup usia.

Tanggal 22 Desember jatuh pada Hari Senin. Tak ada yang istimewa. Angka 22 tercetak dengan warna hitam, sama seperti angka lainnya di Hari Senin. Tidak pula ada tulisan yang biasanya tertulis dibawah deretan tanggal tentang 22 Desember.

Tak banyak yang tahu, bahwa beberapa saat setelah Sumpah Pemuda tahun 1928 diadakan Konggres Perempuan seluruh Indonesia di Jojakarta untuk pertama kalinya, tepatnya tanggal 22 Desember. Yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Ah, tapi apa urusannya denganku. Itu hanyalah bagian dari Ilmu Sejarah.

Dalam hati aku bergumam. Kenapa mesti Hari Ibu. Toh mereka bisa dipanggil ibu karena ada bapak. Coba kalau tidak ada bapak, darimana mereka mendapat predikat sebagai seorang ibu.

Aku bangkit hendak beranjak dari tempat tidur untuk mengambil air wudhu. Walau biasanya istriku yang selalu mendahuluiku.

Tapi niatku tertahan. Sejenak kupandangi dengan seksama wajahmu (istriku).

Istriku ibu anak-anakku…

Wajahmu tidak lagi seperti ketika untuk pertama kalinya aku lihat setelah akad nikah. Ada guratan-guratan halus yang walau tidak mengurangi kecantikanmu tetap saja mengusikku. Guratan itu seakan mengikatkanku bahwa kau adalah wanita lembut yang tegar.

Begitu tegarnya engkau hingga ditengah kesibukan mengurusi anak-anak yang kadang bandel, pekerjaan dapur yang menumpuk, dan rentetan tugas lainnya kau masih sempat membagi waktu untuk meringankan beban keluarga. Mencari penghasilan lain yang itu sebenarnya bukan tugasmu.

Istriku ibu anak-anakku…

Meski tubuhmu tidak lagi seperti pertama aku mengenalmu, Tapi kau tetap anggun. Wanita anggun yang perkasa. Kau selalu bangun mendahului kami. Menyiapkan keperluanku, keperluan anak-anak yang akan berangkat sekolah walau kau sendiri harus bersiap untuk berangkat kerja.

Engkau pula yang selalu menyiapkan dan menata tempat tidur, mengajak berdo’a bersama saat malam telah beranjak. Aku baru sadar bahwa dari ayunan tangan seorang ibu, kelak akan menggetarkan dunia.

Padahal dulu saat aku mengaji, ustadzku pernah bilang, “ Semua pekerjaan dan keperluan rumah tangga, kecuali menyusui anak adalah tanggung jawab suami. Itupun karena suami tidak punya Air Susu Bapak. “

Istriku ibu anak-anakku…

Aku tak ingin menangis. Tapi entah mengapa air mataku meleleh saat menulis surat ini. Apakah karena sampai saat ini aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu.

Kemarin, kau mengeluh kakimu sakit. Aku terdiam, kucoba memijit kakimu yang sakit sambil berpikir menduga-duga apa penyebabnya. Ah, andaikan aku dokter, aku pasti lebih bermanfaat. Tapi aku hanyalah pegawai administrasi di sekolah swasta yang jika ingin ke dokter spesialis harus mengumpulkan rupiah demi rupiah.

Istriku ibu anak-anakku

Engkau patik api kehidupanku dalam kekhusukan munajatmu. Kala jurang dan kepahitan hidup menelanku, kau satu-satunya yang tetap sabar mendampingiku, mendinginkan hatiku, mencarikan jalan keluar dari setiap masalah.

Kala air mata ini tak terbendung menahan sesak tertekan dunia, kata-katamu, usapan tanganmu, seyuman manismu dan pelukanmu menghapus semuanya.

Maafkan aku istriku…, Jika selama ini aku menyakiti hatimu. Membuatmu bersedih dan menangis.

Dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku berjanji, jika Allah masih memberikan kesempatan,akan aku berikan yang terbaik untuk semua kebaikan dan pengorbananmu. Semampu yang dapat kulakukan. Semampu yang bisa kuberikan.

Istriku… Hanya tulisan ini yang bisa kuberikan. Karena aku tidak tahu kapan engkau beristirahat. Atau mungkin kau tidak pernah istirahat. Kalau tak sempat membacanya hari ini bisa kau simpan untuk besok, sampai kau sempat untuk membacanya. Aku tak pandai berkata-kata untuk melukiskan beragam senyum dan pengorbananmu. Setiap kalimat yang kurangkai selalu jauh dari wajahmu yang anggun, teduh dan kasih.

Selamat Hari Ibu untukmu istriku, untukmu ibuku dan untuk seluruh istri-istri dan ibu diseluruh dunia.

7 komentar:

  1. oh may god.... andai papaku bisa seperti itu, pasti mama nggak akan sering menangis.

    BalasHapus
  2. Cutegirl-Banjarmasin29 Januari 2010 pukul 17.39

    Kalau dah nikah nanti aku mau dapat surat kaya' gitu (Cutegirl)

    BalasHapus
  3. Sebuah surat penggugah selera. Ups penggugah hati. Tapi apa bener kalau sudah punya anak bisa kaya' gitu. Atau jangan-jangan sebenarnya masih pengantin baru ya?
    Soalnya jarang-jarang orang kalau sudah nikah lama masih sempet cintrong-cintrongan. Buat cutegirl jangan banyak berharap sebelum nikah. Kenyataan kadang jauh pangang daripada api.

    BalasHapus
  4. Surat ini memang ditujukan untukku. Bahkan sebenarnya surat ini berhasil memenangkan penghargaan dalam lomba menulis surat untuk istri dalam rangka peringatan hari ibu di sekolah anak kami. Saya sendiri agak lupa. Mungkin kejadiannya 3 tahun yang lalu, saat putra kedua kami masih duduk di bangku playgroup. Dan sekarang kami sudah menikah selama hampir 9 tahun. Yups, benar dia memang sosok terbaik yang pernah kami miliki. Dan biarpun kami sudah hidup bersama selama 9 tahun, dia tidak pernah berubah dengan romantisnya itu. 9 tahun yang masih berasa seperti pengantin baru. It's real! believe it or not.

    BalasHapus
  5. Oh, My God.... Dunia belum berakhir.... Tuhan masih menciptakan cinta sejati, diantara rimba cinta birahi dan cinta tahi kucing...

    BalasHapus
  6. Semuanya harap tenang...
    Tenang...tenang....tenang....
    Kalo berasa anda manfaatnya (dan itu harapannya) silahkan di ambil
    Bagi yang nggak butuh, ya silahkan lewat
    Nuwun sewu mau lewat dulu nggiiiih...

    BalasHapus
  7. Sisha mencari cinta28 Februari 2012 pukul 20.48

    *_* Aku koq jadi ikut nangis...... hiks hiks hiks

    BalasHapus