Minggu, 07 Agustus 2011

Dia dan Sang Kekasih



Di dalam Gua itu wajahnya pucat pasi. Langkah kaki para pemuda pemburu tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah dia.

Wahai kekasihku, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua. Sang Kekasih memandangnya penuh makna. "Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan, Allah ".

Sejenak ketenangan menyapanya. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana kota jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu.

Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda pemburu, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Sang kekasih…akan terbunuh…..

***


Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dia memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia sangat mencintai sang kekasih. Kelelahan yang mendera setelah perjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.

Sejenak kemudian, Sang Kekasih melabuhkan kepalanya di pangkuannya. Dan seperti anak kecil, dia berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Sang Kekasih terpejam. Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajahnys yang sangat dekat. Dia tersenyum, sepenuh kalbu dia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang yang memburu Purnama kota seperti memburu hewan buruan.

Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Sang Kekasih, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajahnya belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. Selama hayat berada dalam raga, dia akan selalu berada di sampingnya, untuk membela dan tak akan membiarkan siapapun menganggunya.

Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Dia sandarkan punggungnya di dinding gua. Sang Kekasih, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki dia yang terlentang. Dia menatap waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.

Dia meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Dia menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Sang Kekasih yang tengah berbaring. Dia menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Sang Kekasih terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini" suara Sang Kekasih memenuhi udara Gua.

"Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemanapun", potongnya masih dalam kesakitan.

"Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?"

"Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Hamba Allah, dan bisanya menjalar begitu cepat"

Sang Kekasih menatapnya penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak: "Mengapa engkau tidak menghindarinya?"

"Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap", jawabnya sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Sang Kekasih dan membuatnya terjaga.

Saat itu air mata bukan milik dia saja. Selanjutnya mata Sang Kekasihpun berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.

"Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu . Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan". Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Sang Kekasih meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah pencipta semesta, diusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Mahasuci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Dia segera menarik kakinya karena malu.

Bagaimana mungkin, mereka para durjana tega menyakiti manusia indah seperti mu. Bagaimana mungkin? nyaring hati dia kemudian.


Gua itu kembali ditelan senyap. Kini gilirannya yang beristirahat dan Sang Kekasih berjaga. Dan, Dia menggeleng kuat-kuat ketika Sang Kekasih menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.

Sipakah dia? Ya. Abu bakar Ash-shiddiq. Seorang shahabat yang senantiasa menyertai Sang Kekasih (Muhammad SAW). Dan gua itu adalah Gua Tsur. (Dari cahaya Islami)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar